Tentang Kehilangan dan The Power of Quote

        Sore, di sudut teras rumah. Nisa memulai tulisannya dengan mengingat potongan-potongan kenangan yang tertera pada lembaran foto yang tertanggal 08 November 2009. Dalam gambar itu, seorang lelaki berdiri menghadap ke arahnya. Sedang ia menunduk membaca. Gambar itu diambil tanpa sengaja oleh temannya sendiri saat reuni SMP. Ditatapnya lama dengan perasaan kosong.
               Namanya An. Lelaki yang sering disebut-sebutnya dalam diam yang panjang dari tahun ke tahun. Sayangnya, An baru saja menikah beberapa bulan yang lalu. Maka, perasaan sesak macam apa yang akan dituliskannya ?

            Sebelumnya, Nisa dan An mulai akrab sejak pertemuan di reuni itu. Padahal mereka sudah saling mengenal sejak kecil. Tapi hanya sebatas kenal nama. Pun mereka sering dijodoh-jodohkan oleh teman-temannya. Nisa pendiam, demikian juga dengan An. Alih-alih mereka dijodohkan, rupanya mereka saling menyukai diam-diam. Betapapun tak ada cerita cinta yang bisa ia tuliskan di masa itu. Kecuali hanya pada pertemuan bisu saat berpapasan di depan kelas, kantin, gerbang sekolah atau di sepanjang jalan kampung halaman. Tak pernah ada sapa sepanjang masa itu, kecuali hanya tatapan-tatapan yang saling bertanya-tanya. Sampai tamat sekolah, mereka saling menghilang. Tapi tak demikian dengan perasaan mereka.

"Aku sangat senang bertemu denganmu. Juga ketika mengingat masa kecil kita yang berlalu begitu saja. Kita tak pernah saling bicara, bukan ? Sekarang rasanya seperti tak ingin berhenti bicara denganmu". Suara An bersemangat dari balik telpon.

Sedang Nisa mengatur perasaanya, memikirkan kalimat apa yang akan diutarakannya. Antara senang dan malu-malu. "Hehe...aku juga cukup senang.  Tentang masa kecil kita, ya....mau bagaimana lagi. Itu sudah berlalu".

            Setelah itu, waktu berpihak kepada mereka untuk selalu bersama. Seperti membayar rindu di masa kecil. Sayangnya, mereka tak mampu untuk saling mengaku atas perasaan masing-masing. Tapi bagi Nisa, betapapun hanya di batas rasa saja, tak pernah ada pertemuan yang sia-sia. Meski hanya duduk berdua, makan dan bercerita apa saja.

      Suatu waktu, ketika An akan pergi jauh, Nisa tetap bertahan untuk tetap tidak mengatakan perasaannya. Ia hanya bilang "Tidak apa kau pergi jauh, yang penting ingat jalan pulang !".  Pesannya pada An dengan bercanda. Sebab ia tahu, An akan kembali dan bertemu seperti biasanya. An pun demikian, tak mengatakan apapun tentang perasaannya. Hingga bertahun-tahun lamanya. Mereka hanya sama-sama sependapat bahwa jodoh, sekuat apapun berusaha, pada akhirnya adalah takdir Tuhan. Tapi nyatanya, sekian tahun mereka habiskan untuk bersama. Sepertinya mereka sedang berusaha saling mengikhlaskan pada kemungkinan terburuk yang akan datang. Perpisahan. Sekalipun rasa tak pernah mewujud kata. Tanpa pengakuan.

Dan ketika masa itu hampir tiba. An mengirimkan beberapa pesan singkat tanpa sebab.
            
"Apa kau masih ingat tentang ini ?". Disertainya dengan gambar.

"Maksudnya ?". Nisa tak mengerti, itu gambar An dengan kawan-kawannya saat mendaki. Pun ia sedang berusaha mengingat tentang gambar itu.

"Aku menangis". 
    
"Kau kenapa ?" balas Nisa penasaran. Tapi karena tak digubris oleh An, pesan tak dibalas, telpon tak diangkat, maka Nisa memilih mendiamkannya saja dulu.

        Selang beberapa hari kemudian, Nisa mendapat pesan dari sahabatnya di kampung halaman. Katanya, An akan menikah. Lantas An tak pernah mengatakan apapun soal itu. Bagaimana bisa An tak mengabarinya ? Padahal ia tak punya alasan untuk tak memberitahukannya pada Nisa. Wajar saja, akhir-akhir ini An sikapnya tidak jelas. Tapi alasan apa yang membuatnya tak mengabari Nisa ? Di kepala Nisa, ada banyak pertanyaan yang menumpuk. Bagaimana bisa ini terjadi dengan tiba-tiba ?. Gumamnya. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk menanyakan semuanya pada An. Dari jauh, ia bisa memaklumi sikap An yang tidak jelas. Menunggunya sampai pulang.

"Kau akan menikah ?"

"Ya, aku dijodohkan".

"Aku tahu itu, tapi kenapa kau tak pernah mengatakannya ?". Sekalipun Nisa tahu An telah dijodohkan, ia seperti tak peduli. Ia tetap pada perasaan dan keyakinannya.

"......" An terdiam. Tak punya jawaban.

"Apa kau tak merasa bersalah jika ia tahu kau dekat dengan yang lain ?"

"Bukankah wajar, jika aku masih memikirkanmu ? Kita sudah lama bersama, aku ingin tahu saja apa kau punya perasaan padaku atau tidak. Karena kau tak pernah mengatakan apapun tentang perasaanmu".

"Lantas, jika sudah begini...apa bedanya, kukatakan  atau tidak ? Akhirnya sama saja, bukan ? Pun jika kau tak menginginkannya, itu tidak akan terjadi". Apapun pertanyaannya, ia sadar bahwa jawabannya tak akan menemukan tujuannya. Bahkan ia sudah merasa kehilangan sebelum memiliki.

"Kau pandai menyamarkan perasaanmu". Tanpa menjawab pertanyaan Nisa.

"Kau juga pandai menyamarkan kebohonganmu".

"Maafkan aku. Kita masih bisa bersahabat, bukan ?"

"....." giliran Nisa yang berdiam. Air matanya menggenang. Bungkam. Bagaimana bisa ia akan menjawab 'iya', sedang kenyataannya semuanya sudah berbeda. Pun bagaimana bisa menjawab 'tidak', sedang kenyataannya mereka sungguh dekat.

              Pertemuan itu adalah pertemuan terakhir sebelum mereka benar-benar saling menghilang. Yang akhirnya, mereka sepakat untuk tidak saling berkomunikasi. Alasan apapun itu.
Semuanya terjadi begitu saja. Perpisahan nyata benar-benar terjadi dan tak mengenal perasaan. Pun Nisa berusaha meyakinkan dirinya berkali-kali tentang kenyataan yang tak berpihak kepadanya. Ia masih tak percaya. Pun tak mudah berdamai dengan diri sendiri dalam waktu yang singkat.

         Apa yang dilakukan Nisa setelah itu ? Menangis. Dan membiarkan semuanya terjadi dengan berusaha berlapang dada. Berdo'a kepada Tuhan agar ia terlindung dari perasaannya sendiri. Meskipun begitu, untuk menguatkan hati tidaklah sesederhana berkata Aku baik-baik saja. Selebihnya, bagi Nisa, kehilangan adalah tentang bagaimana mengais makna dari apa yang dirasakannya, apa yang dilihatnya dan apa yang didengarnya. Tentu tidak mudah. Seorang kerabat kemudian menyarankannya agar ia menikmati waktunya dengan sebaik mungkin".

           Nisa masih memikirkan kalimat apa yang akan ditulisnya pada paragraf pertama dengan cerita yang serumit itu. Catatannya masih kosong, kecuali di sudut halaman, tertulis ; Makassar, 1 Juni 2018. Azan maghrib pertanda buka puasa membuyarkan ingatannya.

             Tengah malam, barulah ia melanjutkan catatannya. Ia berubah pikiran, bukannya menulis tentang kisahnya yang rumit. Tapi mengumpulkan quote dari buku-buku dan medsos. Sambil mendengar musik instrumental. Sebuah usaha untuk menyangga perasaan yang patah.

Pada akhirnya yang tersisa hanyalah apa yang kita percayai dan orang-orang yang kita cintai. ~Moh.Hamra Basra
   
Buku-buku, boleh jadi tidak dapat menyembuhkan luka, juga tidak dapat melindungi kita dari niat jahat, nasib buruk atau penderitaan. Tapi buku-buku, menjanjikan kita banyak kemungkinan yang tak terbatas ; kemungkinan akan perubahan, kemungkinan akan pencerahan. ~Alberto Manguel

Kenangan harus cukup kuat untuk memungkinkan kita utk bertindak tanpa melupakan apa yg kita ingin lakukan, utk belajar tnp berhenti utk menjadi org yg sama, tetapi kenangan jg harus cukup lemah sehingga mengizinkan kita utk terus bergerak menuju masa depan. ~Italo Calvino

     Di halaman berikutnya, ia menuliskan kembali percakapan yang ditulis oleh kerabat yang menasihatinya.

"Gak usah tanyakan hal seperti itu lagi, sudah jelas kan ? Jelas, kalau lukamu masih menganga oleh lipatan kenangan tentangnya !"

"Oh tidak, aku baik-baik saja."

"Tahu kan, kamu tak pernah pandai membohongiku ?"

"Aku berkata yang sebenarnya, benar aku berat melupakannya tapi juga benar bahwa aku tidak mengenangnya".

"Jika iya, optimisme yang kamu miliki tidaklah pudar. People change's, you know ?"

"Yap. But not to be worst."

"We all learn for the hole life, this isn't ended yet."

"Yeah, agreed. But, just remembered how was charefully you are".

"I rememberd also and anded like this."

 "So what was you learned about ?"

            Setelah itu, adalah perenungan panjang bagi Nisa. Pun usaha untuku berdamai dengan diri sendiri.

#katahatichallenge
#katahatiproduction

Komentar

Postingan Populer